38°C
04/06/2025
Sejarah

Asal-Usul Gelar ‘Haji’ yang Disematkan pada Umat Islam di Indonesia Sepulang Menunaikan Rukun Islam Kelima

  • Juli 5, 2024
  • 2 min read
  • 286 Views
Asal-Usul Gelar ‘Haji’ yang Disematkan pada Umat Islam di Indonesia Sepulang Menunaikan Rukun Islam Kelima

INFO BANDUNG BARAT—Dari semua umat Islam di dunia, hanya komunitas muslim di Indonesia (dan Malaysia) yang menyematkan gelar Haji/ah kepada yang pulang menunaikan Rukun Islam kelima. Ini bermula sejak tahun 1800-an waktu para kolonialis menguasai kepulauan Nusantara.

Awalnya Pemerintah Kolonial (waktu itu masih VOC) senang dengan keberangkatan mereka yang ingin berhaji karena menjadi pemasukan tambahan bagi kapal dagang yang berlayar ke Timur Tengah. Tapi mereka ini kemudian membawa masalah bagi Kumpeni.

F de Haan mencatat di tahun 1811 VOC jengah dengan mereka yang pulang berhaji dari Tanah Suci sehingga mulai mengawasi mereka dengan ketat karena seringkali terjadi pemberontakan yang dipimpin para tokoh agama ini.

Setelah pemerintahan VOC berganti jadi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, peraturan dibuat semakin ketat dengan diterbitkannya Ordonansi Haji pada 1825 yang mengatur pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Biaya haji juga dinaikkan.

Para haji banyak memelopori Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan-pemberontakan petani sepanjang paruh kedua abad 19. Pemerintah Kolonial semakin menganggap haji dengan penuh kewaspadaan. Tahun 1859 terbit Ordonansi Haji baru, lebih ketat dari sebelumnya.

Ordonansi baru ini memberlakukan semacam “ujian haji” bagi mereka yang mengaku sudah pulang berhaji dari Tanah Suci. Jika seorang pribumi sudah lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji yg serba putih.

Referensi lain menyebut penyematan gelar haji di Hindia Belanda baru dilakukan di 1903 atau 1917. Namun tujuannya sama yaitu memudahkan Pemerintah Kolonial memonitor pergerakan berbasis agama. Jika ada pemberontakan meletus, haji-haji di daerah tersebut dapat mudah ditemukan.

Memasuki abad ke-20, perkembangan ideologi kemerdekaan dan pan-islamisme semakin membuat Pemerintah Kolonial terancam. Pemimpin pergerakan yang bergelar haji seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbach diawasi 2x lebih ketat.

Setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat Pemerintah Kolonial, dia memberikan advis ekstrem: bebaskan pengaturan haji karena yg berbahaya secara ideologis adalah mereka yg kembali dari Tanah Suci setelah menetap lama sehingga banyak terpengaruh paham anti-kolonialisme.

Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda tak lagi mengawasi ketat para haji ini walau kebiasaan menyematkan gelar dan berpakaian serba putih terus dilakukan. Setelah Indonesia merdeka, kebiasaan ini masih diteruskan walau dalam konteks yang berbeda.***

About Author

Ayu Diah

1 Comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *