38°C
05/06/2025
Lingkungan Hidup

Fiksi ‘Pajaratan’ Gunung Halimun Bandung Barat dan Siasat Konservasi Kekayaan Alam

  • Juli 15, 2024
  • 5 min read
  • 1157 Views
Fiksi ‘Pajaratan’ Gunung Halimun Bandung Barat dan Siasat Konservasi Kekayaan Alam

SATU bukit itu tidak gundul, pohon-pohon besar menjulang tinggi, tanaman rambat khas hutan ada di situ.  Namun bukit-bukit di sekitarnya gundul bekas ditanami tanaman jagung. Pesona alam khas yang dimiliki Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Jika pandangan kita diarahkan agak jauh ke selatan, di sana ada perumahan baru yang sedang dibangun dan tambang pasir. Sedangkan jika pandangan kita diarahkan agak jauh ke utara, nampak tambang batu kapur dan pabrik pengolahan batu kapur berserakan di beberapa titik, gak karu-karuan.

Tapi bukit ini berbeda, meski dikepung kerusakan hampir dari segala sisi, bukit ini kokoh berdiri dengan pepohonan yang tinggi-tinggi.

Saat kaki kami ditapakan di bukit ini, udara sejuk menyeruak di permukaan kulit tangan. Semakin melangkah ke dataran lebih tinggi, semakin sejuk pula udaranya, bahkan mendekati dingin.

Cahaya matahari perlahan-lahan meredup, bukan apa-apa, pepohonan yang tinggi dan lebatnya dedaunan itu seperti jadi tabir penghalau terik sinar mentari.

Akhirnya kami sampai juga di puncak, selain udaranya yang sejuk, telinga pun terasa mendenging karena saking sepinya. Lagi-lagi mungkin karena pepohonan dan daunnya yang lebat menghalau semuanya, termasuk suara bising. Entahlah, yang pasti suasana di sini masih sama angkernya seperti dulu.

Waktu kecil bukit ini jadi destinasi penting yang wajib dikunjungi selepas idul fitri atau idul adha, hanya untuk makan-makan dan melihat kuburan yang di sampingnya ada batu berbentuk oval. Batu oval ini konon katanya punya keistimewaan.

Jika kita berdoa sambil mengangkat batu ini, konon apa-apa yang dipanjatkan akan mewujudnyata. Buat saya pada saat itu, cerita itu terdengar menyeramkan, menyeramkan karena harus dilakukan tepat di samping kuburan.

Terlebih kini, kuburannya bertambah dari asalnya satu menjadi lima. Dari lima kuburan yang ada, tiga kuburan bernama, dua sisanya tidak. Satu kuburan berada di sebelah timur puncak bukit, empat kuburan sisanya di sebelah barat puncak bukit. Dua kuburan yang tidak bernama berada di sebelah barat.

Dalam memori masa kecil saya, kuburan di puncak bukit itu hanya ada satu. Kini bertambah menjadi lima, bukankah itu menambah kesan angker bagi anak-anak seperti saya? Apa jadinya jika pada saat saya kecil, kuburan di puncak bukit itu sudah ada lima?

Anak-anak belum bisa membedakan antara yang fiksi dengan yang fakta. Dalam alam pikiran anak-anak, dunia ini fiksi belaka. Anak-anak akan lebih percaya pada apa-apa yang bersifat fiksi, daripada penjelasan logis-faktual. Ketakutan akan keangkeran mengaktifkan imajinasi mereka/saya saat masih kecil.

Hal itu pulalah yang menuntun kami untuk tiba di bukit ini, bukit ini bernama Gunung Halimun. Terutama untuk saya, ketakutan akan bencana alam akibat rusaknya alam oleh ulah tangan manusia mengaktifkan imajinasi saya.

Tapi ada bedanya. Bedanya hari ini saya memandang kuburan-kuburan yang ada di puncak gunung Halimun sebagai penanda budaya yang mesti dimaknai. Apa maknanya buat kita yang hidup di masa kini?

Kami tiba di gunung Halimun pada hari kamis (11/07/24), sekitar pukul satu siang. Setelah menempuh perjalanan 4-5 jam lamanya dengan berjalan kaki, dari titik pemberangkatan Kampung Berseri Astra, kampung Cidadap, desa Padalarang. Melintasi gunung Bakung, G. Puter, Pasir Lampegan, G. Bendera, G. Pancalikan, dan terakhir G. Halimun.

Gunung Halimun sendiri terletak tepat di perbatasan tiga desa, diantaranya: Desa Padalarang Hudang, desa Jayamekar, dan desa Gunungmasigit, menurut peta RBI (Rupa Bumi Indonesia).

Salah satu nisan yang berada di Gunung Halimun, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Budaya Sunda Buhun versus Budaya Kapitalisme

Sebab lima kuburan yang ada di puncak gunung Halimun tidaklah benar-benar kuburan, dalam arti tempat dikuburnya jasad manusia yang telah meninggal.

Menurut kuncen gunung Halimun, kuburan-kuburan itu hanyalah patilasan dari orang-orang yang namanya terpahat di batu nisan kuburan. Berikut ini adalah  nama-nama yang terpahat di batu nisan: Eyang Sunan Pager Barang, Eyang Kian Santang, dan Eyang Aji.

Patilasan bisa diartikan juga tempat singgah atau tempat yang pernah didiami.  Apakah orang-orang yang Namanya terpahat tersebut, pernah singgah atau mendiami gunung Halimun? Sejauh ini, menurut pengamatan saya tak ada satu pun dokumen sejarah yang menyatakannya.

Oleh karena itu jelas sudah, kuburan-kuburan tersebut adalah penanda budaya. Kuburan dalam bahasa Sunda disebut juga pajaratan, di sebut juga pasarean, di sebut juga astana.

Warga sekitar gunung Halimun (warga Cilahimun dan Ciwalahir) menyebut kuburan yang ada di gunung Halimun dengan sebutan pajaratan gunung Halimun. Diksi pajaratan dipilih untuk menunjukan betapa tinggi dan terhormatnya orang-orang yang namanya tertulis di nisan kuburan gunung Halimun.

Pajaratan adalah Bahasa Sunda halus dari astana dan pasarean. Sejak masyarakat Sunda/Galuh dikuasai kesultanan Mataram, Bahasa Sunda dibuat bertingkat-tingkat. Namun secara sederhana bisa dibagi menjadi dua tingkatan saja; yakni halus dan kasar.

Bahasa Sunda halus pun ada tingkatannya lagi, begitu pun Bahasa Sunda kasar. Bahasa Sunda halus digunakan dalam percakapan dengan orang-orang yang strata sosialnya dianggap tinggi atau tinggi sekali. Sedangkan Bahasa Sunda kasar digunakan dalam percakapan dengan orang-orang yang strata sosialnya dianggap setara atau di bawah strata sosial kita.

Tidak berhenti sampai di situ, gunung Halimun dengan pajaratan-nya kerap dikunjungi oleh orang-orang yang hendak bertawasul, zarah dan lain-lain. Itu menunjukan betapa penting gunung Halimun dalam kacamata mereka.

Disadari atau tidak, praktik budaya macam itu yang bahan bakarnya adalah mitos, menguntungkan upaya-upaya pelestarian alam. Terutama mitos-mitos yang dibangun dari petuah masyarakat Sunda buhun.

Misalnya dari Naskah Amanat Galunggung, yang isinya sekumpulan petuah. Petuah itu diantaranya mengenai pentingnya hidup selaras dengan alam seraya melestarikannya. Sebab jika alamnya rusak itu menandakan moralitas dan perilaku masyarakat yang mendiaminya juga rusak. Kerusakan moral dan perilaku akan menimbulkan bencana serta kehancuran masyarakat itu sendiri.

Berbeda dengan  budaya Sunda buhun yang motornya adalah hidup selaras dengan alam, budaya Kapitalisme tidaklah demikian. Budaya kapitalisme seperti eksploitasi, keruk pasir dan tambang kapur, berangkat dari prinsif memperoleh nilai lebih/profit.

Budaya ini tidak peduli pada pentingnya peranan bukit karst dan bukit pasir dalam ekologi. Jika cadangan pasir dan karst habis, mereka akan mencari tempat yang masih lestari untuk dieksploitasi. Karena hanya dengan begitu, hanya dengan merampok dan menjual sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, nilai lebih bisa dihasilkan.

Dua budaya yang saling menegasi tersebut terlihat jelas dari gunung Halimun. Oleh karenanya menurut saya, gunung Halimun dan cerita istimewa yang mengitarinya penting dilestarikan, atau bila perlu ada upaya menambah jumlah pajaratan. Siapa yang bisa melakukannya?

 

 

About Author

Tim Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *