38°C
05/06/2025
Sejarah

Islam Garam, Filosofi Beragama Ala Bung Hatta

  • Juli 19, 2024
  • 3 min read
  • 194 Views
Islam Garam, Filosofi Beragama Ala Bung Hatta

INFO BANDUNG BARAT—Bung Hatta adalah seorang berdarah Minangkabau yang beragama Islam. Siapa tidak kenal dengan kejujurannya selama menjadi pemimpin? Saking jujurnya, Bung Hatta menolak tawaran Presiden Soekarno untuk menggunakan pesawat terbang milik negara dalam keberangkatan hajinya. Hatta dan keluarga memilih menggunakan uang hasil penerbitan buku-buku karangannya.

Islam Garam vs Islam Gincu

Kejujuran Hatta lahir dari ketaatannya pada ajaran Islam. Cucu dari Syekh Batu Ampar ini menunjukkan keislamannya melalui cara yang berbeda. Bung Hatta menyebutnya sebagai Islam Garam bukan Islam Gincu.

Ia percaya ketika garam larut ke masakan, ia akan memberi rasa walau wujudnya tidak terlihat. Sedangkan saat gincu bercampur dengan makanan dan minuman, ia mengubah warnanya dan rasanya tetap hambar.

Menurut Bung Hatta, seorang muslim hendaknya mengamalkan “ilmu garam” bukan “ilmu gincu”. Kehadirannya terasa membawa nilai-nilai Islami sekalipun tampak luarnya tak menunjukkan simbol identitas agama.

Sesuai dengan filosofi “Islam Garam” yang dipegangnya, Hatta menunjukkan ketaatan mengamalkan Islam dalam kegiatan sehari-hari.

Sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaya, menyaksikan bagaimana Hatta tidak pernah meninggalkan salat 5 waktu. Serta tetap berpuasa walau sedang dalam pernalanan dinas. Yang lebih menakjubkan, ia seolah mengharamkan dirinya untuk menggunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Hatta menjunjung toleransi dengan mengubah isi Piagam Jakarta

Tujuan lain dari dialetika “Islam Garam” adalah beliau berusaha untuk mengiplementasikan garam kepada kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai Islam yang memiliki ahklak mulia dan berkeadilan secara transparan dan nyata.

Pemikiran Bung Hatta itu pun menjadikan sebuah sudut pembanding dengan pemikiran dari Muhammad Natsir. Ditambah lagi Bung Hatta memiliki semua keberanian mengkritik Piagam Jakarta yang terletak pada sila ke 1. Semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”. Hal yang berubah pada dasar sila 1 ini sudah menjadi hal yang maklum jika umat Islam dikala itu yang mendominasi negeri ini bereaksi.

<yoastmark class=
Naskah Piagam Jakarta yang ditulis dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan. Kalimat yang mengandung “tujuh kata” yang dimaksud dicetak tebal dalam gambar ini

Namun hal itu bukan menjadikan bentuk kriminalisasi umat Islam. Akan tetapi, hal tersebut adalah peran besar kaum intelektual di negeri ini untuk menjamin kesadaran beragama bagi agama minoritas.

Jika kita bayangkan secara bersama, Sila 1 pada Piagam Jakarta yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” masih tetap lestari maka tujuan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat teralisasikan. Pada alinea 4 berbunyi “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”, maka semua penjabaran tujuan itu akan menjadi hampa belaka.

Jika kita kupas Islam memiliki peran yang besar di dalam tujuan itu, akan tetapi Islam tidak boleh menjadikan dominasi keberadaan sebagai alat penghambat dari keberlangsungan bangsa ini. Islam adalah agama yang mampu menerima perbedaan. Terutama di negeri kita yang kaya akan budaya dan suku bangsa.***

About Author

Ayu Diah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *