Menelusuri Sejarah Grand Hotel Lembang: Jejak Kolonial di Dataran Tinggi Bandung Barat

INFO BANDUNG BARAT–Grand Hotel Lembang merupakan salah satu bangunan bersejarah paling penting di wilayah Bandung Barat. Di balik dinding-dinding tebal dan arsitektur khas kolonialnya, tersimpan cerita panjang tentang peralihan kekuasaan, migrasi bangsa-bangsa, serta dinamika sosial politik sejak akhir abad ke-19. Hotel ini menjadi saksi perubahan besar di Tatar Priangan, dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga awal kemerdekaan Indonesia.
Bermula dari Perkebunan Kina Milik Italia
Jejak awal Grand Hotel Lembang dapat ditelusuri ke tahun 1877, ketika seorang berkebangsaan Italia bernama Pietro Antonio Ursone membuka sebuah perkebunan kina di Lembang dengan nama Baroe Adjak. Perkebunan ini menjadi bagian dari industri kina yang berkembang pesat di Hindia Belanda saat itu. Setelah Ursone meninggal pada 1899, lahan tersebut dialihfungsikan menjadi rumah besar.
Menjadi Hotel untuk Keluarga Eropa

Tahun 1918, rumah besar bekas perkebunan itu disewakan kepada pasangan Jerman bernama Houf, yang kemudian menjadikannya penginapan privat. Dua tahun berselang, tepatnya tahun 1920, rumah ini dibuka untuk umum dengan nama Hotel Lembang, dan mulai menerima tamu-tamu dari kalangan elite Eropa yang datang berlibur ke dataran tinggi.
Masa Keemasan di Tangan Bruno Treipl
Transformasi besar terjadi pada tahun 1934, saat Bruno Treipl, keponakan keluarga Houf, mengambil alih manajemen hotel. Ia merenovasi bangunan dan mengganti namanya menjadi Grand Hotel Lembang. Treipl memperluas fasilitas hotel, menambahkan kolam renang, ballroom, dan elemen desain modern yang menjadikannya salah satu hotel paling bergengsi di Hindia Belanda. Hotel ini menjadi tempat istirahat favorit bagi warga Eropa, pejabat kolonial, dan pelancong yang ingin menikmati udara sejuk serta panorama Lembang yang alami.
Pendudukan Jepang dan Masa Suram
Saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942, Grand Hotel Lembang diambil alih oleh militer Jepang. Fungsi bangunan pun berubah total. Gedung Melia, bangunan utama hotel, digunakan sebagai gudang logistik militer. Selain itu, hotel ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan militer lainnya, dan diduga menjadi salah satu lokasi praktik Jugun Ianfu (perempuan penghibur) oleh tentara Jepang. Banyak bagian hotel yang rusak akibat eksploitasi selama masa pendudukan ini.
Pasca-Kemerdekaan dan Fungsi Baru
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Grand Hotel Lembang tidak langsung kembali menjadi tempat wisata. Hotel ini sempat dijadikan kamp penampungan warga sipil Eropa yang menunggu proses repatriasi. Selain itu, karena lokasinya yang relatif aman dan terpencil, hotel ini digunakan untuk rapat-rapat penting oleh tokoh-tokoh pergerakan dan pejabat Indonesia, terutama selama masa revolusi fisik.
Arsitektur Kolonial yang Tersisa
Bangunan Grand Hotel Lembang mengusung ciri khas arsitektur kolonial dengan dinding tebal, jendela-jendela besar, dan denah simetris. Gedung utamanya yang dikenal sebagai Gedung Melia tetap menjadi ikon hotel. Gaya arsitektur ini tidak hanya menandai masa kejayaannya, tetapi juga memperlihatkan standar kemewahan yang diadopsi pada masa kolonial.
Referensi:
- Malia Nur Alifa. Telusur Sejarah Lembang: Kisah Grand Hotel Lembang dari Masa ke Masa. BandungBergerak.id, 2024. https://bandungbergerak.id/article/detail/15976832.
- Malia Nur Alifa. Telusur Sejarah Lembang: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang. BandungBergerak.id, 2024. https://bandungbergerak.id/article/detail/15992813.
- Wikipedia Bahasa Indonesia. Grand Hotel Lembang. Diakses 3 Juni 2025. https://id.wikipedia.org/wiki/Grand_Hotel_Lembang