
INFO BANDUNG BARAT—Belakangan ini, lagu Gala Bunga Matahari gubahan Sal Priadi jadi salah satu lagu yang diputar di mana-mana. Lagu yang dibawakan Sal ini mengisahkan tentang seseorang yang kehilangan dan merindukan sosok terkasihnya yang telah tiada.
Sal menggambarkan kehilangan dengan nada-nada gemas, meski rindu terkadang masih menghantui, namun kehilangan juga ternyata bisa dirayakan dengan prasangka-prasangka baik akan orang tersayang yang telah berpulang.
Alih-alih meratapi duka, lagu ini justru menimbulkan harapan. Seolah berkata, mereka yang sudah tinggal dalam keabadian berada di tempat yang indah, melihat sungai dengan air susu, biarlah damai. Atau mungkin dengan kekuatannya yang astral, sesekali bisa hadir ke sekitar, menjelma bunga matahari di taman yang mudah ditemui.
Lagu ini membawa kita untuk tenggelam lebih jauh dalam renung. Bahwa kematian tidak dapat kita hindari, ia adalah sesuatu yang primal, dan hidup hanya sebuah absurditas yang tidak memiliki makna inheren.
Banyak warganet yang mengaku tidak sanggup mendengarkan bahkan menyanyikan lagu ini hingga selesai karena begitu relate dengan kehidupan mereka. Beberapa lagi mengaitkan liriknya dengan ayat-ayat dalam kitab suci Al-Qur’an. Menurut mereka, Sal adalah musisi jenius yang mampu mendawamkan syiar dalam syair dan disampaikan dengan begitu indah.
Dalam lirik Gala Bunga Matahari tertulis “adakah sungai-sungai itu benar-benar dialiri dengan air susu?” Di mana kalimat tersebut juga tertulis dalam Al-Qur’an Surat Muhammad ayat 15 dengan bunyi:
“Perumpamaan taman surga yang dijanjikab kepada orang-orang yang bertakwa, di sana ada sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya.”
Di baris berikutnya Sal menuliskan, “juga badanmu tak sakit-sakit lagi, kau dan orang-orang di sana muda lagi, semua pertanyaan temukan jawaban. Hati yang gembira sering kau tertawa,” perumpamaan tersebut juga tertulis dalam Surat Al-Hijr ayat 48 yang berbunyi:
“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan dari padanya.”
Hal itu ditegaskan oleh sabda Rasulullah SAW, yaitu:
“Mereka tidak akan pernah jatuh sakit, membuang ingis, atau meludah.” (Shahih Al-Bukhari)
“Sesungguhnya kalian akan tetap sehat dan tidak pernah sakit lagi, kalian akan tetap hidup dan tidak pernah mati lagi. Kalian akan tetap muda dan tidak pernah tua renta lagi, kalian akan terus berbahagia, dan tidak pernah merasa sedih dan menderita lagi,” (Shahih Muslim)
Meski penerimaan atas kehilangan itu ada, namun rasa rindu pada orang terkasih adalah hal yang manusiawi. Sal menggambarkannya dalam lirik “Kangennya masih ada di setiap waktu, kadang aku menangis bila aku perlu”.
Ada pepatah mengatakan “you don’t get over grief, you just learn to live with it”. Menurut Mary-Frances O’Connor seorang profesor psikologi, mereka yang pernah kehilangan orang terdekatnya memang akan hidup berdampingan dengan duka. Akan selalu ada momen-momen baru dalam hidup yang dilewati tanpa orang tersebut, sehingga rasa kehilangan itu akan terus hadir kembali bersama dengan respon alaminya: emosi duka. Namun, seiring waktu berjalan, kita akan semakin baik dalam mengelolanya.
“Jalani hidup dengan penuh suka cita, dan percaya kau ada di hatiku selamanya”
Lagu ini ditutup dengan lirik yang menggambarkan fase acceptance, yaitu titik di mana kita sudah mampu menerima kehilangan dan memahami makna dalam hidup kita. Perubahan yang terjadi dari awal hingga akhir lagu juga sejalan dengan fakta bahwa setiap orang mengalami fase-fase berduka secara personal, tanpa urutan pasti, bisa berubah-ubah dan berulang ulang, dalam waktu yang singkat.
“Bila tidak sekarang, janji kita pasti akan bertemu lagi”. Itu adalah lirik pamungkas dari lagu Gala Bunga Matahari, yang lagi-lagi tertulis dalam ayat suci Al-Qur’an, Surat Ar-Rad ayat 23:
“(yaitu) surga-surga ‘Ādn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucunya, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”.
Dari sudut pandang lain, Gala Bunga Matahari seakan memberi gambaran pada kita mengenai perasaan rindu terhadap kematian itu sendiri. Bagaimana kita yang masih terjebak di dunia sepatutnya memiliki rasa tenang dan perjalanan yang penuh suka cita.
Teringat pula pada dialog ‘Phaedo’ yang ditulis oleh Plato, Socrates memandang kematian sebagai pembebasan jiwa dari tubuh. Ia parcaya jiwa adalah abadi dan akan bertransmigrasi atau kembali ke dunia ide setelah kematian. Bagi Socrates, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi adalah transisi ke keadaan yang lebih baik.***