38°C
01/06/2025
Bhineka

RUU Kebebasan Beragama: Pengakuan untuk Keyakinan di Luar Agama Resmi

  • Mei 30, 2025
  • 2 min read
  • 45 Views
RUU Kebebasan Beragama: Pengakuan untuk Keyakinan di Luar Agama Resmi

INFO BANDUNG BARAT-Usulan Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Beragama memantik diskusi publik nasional. Dalam usulan ini, pemerintah diharapkan dapat mengakui dan melindungi hak warga negara yang memeluk keyakinan di luar enam agama resmi yang saat ini diakui negara: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Latar Belakang Usulan RUU

Indonesia mengharuskan warga negara untuk mencantumkan salah satu dari enam agama resmi. Konsekuensinya, kelompok penghayat kepercayaan, penganut spiritualitas lokal, atau mereka yang memilih tidak beragama mengalami diskriminasi dalam hak-hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan pengakuan hukum.

Menteri HAM Natalius Pigai menilai kondisi tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar negara memberikan perlindungan hukum yang lebih luas dan tidak diskriminatif, melalui pengesahan RUU Kebebasan Beragama.

“Kita perlu UU yang benar-benar melindungi hak warga, termasuk yang memilih kepercayaan leluhur atau tidak beragama sekalipun,” ujar Pigai, seperti dikutip dari Kompas.com (11/3/2025).

Dukungan dari Tokoh Masyarakat

Usulan ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan, salah satunya Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation dan putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia menyatakan bahwa keyakinan adalah urusan personal, dan negara tidak semestinya membatasi pilihan spiritualitas warga.

“Keyakinan itu hak pribadi. Negara harus menghormati, bukan mengatur,” tegas Yenny (Kompas.com, 14/3/2025).

Realitas Diskriminasi Terhadap Kelompok Kepercayaan

Meski Mahkamah Konstitusi telah mengakui status penghayat kepercayaan melalui putusan tahun 2017, diskriminasi masih terjadi. Kelompok seperti Sunda Wiwitan, Sapta Dharma, dan lainnya masih menghadapi hambatan administratif dan sosial, seperti penolakan pencatatan pernikahan atau kesulitan mengakses layanan publik.

Laporan Komnas HAM pada 2024 juga menyoroti adanya praktik pembatasan kebebasan berkeyakinan di berbagai daerah. Komnas HAM bahkan telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang kebebasan beragama sebagai acuan negara dan pemerintah daerah.

Pentingnya RUU Ini bagi Masa Depan Keberagaman

Indonesia dikenal sebagai negara majemuk, tetapi perlindungan terhadap kebebasan beragama belum sepenuhnya setara. Dengan adanya RUU Kebebasan Beragama, negara diharapkan lebih siap memberikan ruang yang adil, inklusif, dan setara bagi seluruh warganya, apa pun pilihan keyakinannya.

Langkah ini bukan hanya soal perlindungan hukum, tetapi juga pengakuan eksistensial terhadap realitas keberagaman yang selama ini belum sepenuhnya diterima.***

About Author

Ayu Diah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *